Contoh Esai Pendidikan

“Implementasi Pendidikan Berkarakter Di Sekolah Sebagai Upaya Membangun Kembali Moral Bangsa”.

Kemerosotan moral bangsa menjadi masalah yang urgent saat ini. Hal ini dikarenakan kurangnya kontrol pendidikan seperti sekolah dalam berperan aktif mengkader generasi muda yang berkarakter bangsa. Sekolah hanya berhasil mengkader generasi yang intelek namun tidak disertai dengan moralitas yang sesuai karakter bangsa. Sehingga dapat dikatakan bahwa sekolah berhasil dalam pendidikan intelek dan gagal pada pendidikan karakter atau moral.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengobati hal tersebut. Misalnya, dengan berbagai penyuluhan seks bebas, razia narkoba yang dilakukan oleh pihak yang berwajib dan lain sebagainya. Upaya-upaya tersebut hanya sebagai obat sementara tanpa menancapkan dalam benak siswa. Lebih parahnya kegiatan seperti penyuluhan dan razia disalah gunakan fungsinya oleh siswa. Misalnya, penyuluhan seks bebas bermaksud untuk mengurangi tingkat kenakalan remaja dalam pergaulan seks dan indikasi yang akan di dapatkan dalam pergaulan tersebut. Namun, sasaran tersebut tidak tepat, dengan penyuluhan tersebut siswa lebih tahu bagaimana cara melakukan seks yang benar dan aman sehingga tidak saling merugikan. Begitu juga dengan razia narkoba, dengan razia dapat mengurangi tingkat penggunaan narkoba di kalangan pelajar. Namun, dengan razia siswa juga belajar bagaimana menyimpan narkoba yang baik sehingga tidak akan terazia.

Pada bahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa pendidikan merupakan hal terpenting untuk membentuk kepribadian. Masyarakat pada umumnya hanya mengetahui sekolah sebagai tempat yang baik dalam membentuk kepribadian dan sekolah menjadi prioritas utama dalam membentuk kepribadian. Pernyataan muncul bahwa sekolah unggulan dan terkenal merupakan sekolah yang sukses dalam mendidik IPTEK maupun karakter kepribadian siswa. Padahal tidak hanya sekolah yang menentukan baik atau buruknya kepribadian siswa. Pendidikan itu tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki peran yang sama untuk membentuk kepribadian, terutama anak atau siswa. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 dikatakan bahwa ada 3 jenis pendidikan yaitu: 1) pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi; 2) pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang seperti lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis; 3) pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan seperti kegiatan belajar secara mandiri.

Namun, dalam praktiknya ketiga jenis pendidikan tersebut berjalan dengan jalur sendiri dan tidak ada hubungan antara ketiga jenis pendidikan tersebut. Ketiganya tidak saling mendukung untuk meningkatan pembentukan kepribadian siswa. Setiap lembaga pendidikan tersebut berjalan masing-masing sehingga yang terjadi sekarang adalah pembentukan pribadi siswa menjadi parsial, misalnya anak bersikap baik di rumah, namun ketika keluar rumah atau berada di sekolah melakukan hal-hal negatif yang merugikan.

“Membangun Kembali Moral Bangsa” mungkin judul ini tidak terlalu berlebihan, hal ini dikarenakan moral bangsa yang sekarang ini mengalami degradasi yang sangat pesat. Beberapa hal disebabkan oleh kemajuan IPTEK dan tuntutan globalisasi. Sehingga, dibutuhkan suatu upaya atau perlakuan yang dapat menancapkan dalam benak generasi muda mengenai pendidikan moral yang berkarakter bangsa.

Pendidikan berkarakter adalah alternatif solusi yang mulai ditawarkan penggagas pembaharuan pendidikan untuk mengobati sekaligus mencegah sejak dini kemerosotan moral bangsa. Pendidikan berkarakter menanamkan secara tidak langsung kepribadian bangsa melalui proses evaluasi pendidikan yang diterapkan di kurikulum sekolah.

Dasar pemikiran dari pendidikan berkarakter salah satunya adalah komitmen nasional tentang perlunya pendidikan karakter, secara imperatif tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 3 UU tersebut dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Jika diamati, 5 (lima) dari 8 (delapan) potensi siswa yang ingin dikembangkan tersebut sangat terkait erat dengan karakter. Karakter yang berkepribadian bangsa.

Dalam dunia pendidikan, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan siswa untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Dengan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari diharapkan siswa dapat menjadi suri teladan bagi orang disekitarnya sehingga kehidupan moralitas semakin membudaya di masyarakat.

Penerapan atau Implementasi pendidikan berkarakter di Indonesia dapat dilakukan melalui 2 strategi pengembangan dalam konteks makro dan mikro. Konteks makro bersifat nasional yang mencakup keseluruhan konteks perencanaan dan implementasi pengembangan nilai/karakter yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan nasional sedangkan pada konteks mikro pengembangan karakter berlangsung dalam konteks suatu satuan pendidikan atau sekolah secara holistik. Sesuai dengan batasan masalah pada bab sebelumnya, maka pembahasan konteks mikro yang akan dibahas pada karya tulis ini.

Dalam Grand Design Pendidikan Berkarakter konteks mikro dalam pengembangan karakter dapat digambarkan sebagai berikut:

Penjelasan:
Secara mikro pengembangan nilai/karakter dapat dibagi dalam empat kegiatan, yakni kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya sekolah (school culture); kegiatan ko-kurikuler  dan/atau ekstra kurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah, dan dalam masyarakat.
  1. Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas pengembangan nilai/karakter dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embeded approach). Khusus untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, karena memang misinya adalah mengembangkan nilai dan sikap, maka pengembangan nilai/karakter harus menjadi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode pendidikan nilai (value/character education). Sementara itu untuk mata pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain pengembangan nilai/karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang memiliki dampak pengiring berkembangnya nilai/karakter dalam diri siswa.
  2. Dalam lingkungan sekolah dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosial-budaya sekolah memungkinkan para siswa bersama dengan warga sekolah lainnya terbiasa membangun kegiatan keseharian di sekolah yang mencerminkan perwujudan nilai/karakter.
  3. Dalam kegiatan ko-kurikuler, yakni kegiatan belajar di luar kelas yang terkait langsung pada suatu materi dari suatu mata pelajaran, atau kegiatan ekstra kurikuler, yakni kegiatan sekolah yang bersifat umum dan tidak terkait langsung pada suatu mata pelajaran, perlu dikembangkan proses pembiasaan dan penguatan dalam rangka pengembangan nilai/karakter.
  4. Di lingkungan keluarga dan masyarakat yang merupakan pihak di luar sekolah maka harus mengupayakan agar terjadi proses penguatan baik dari orang tua/wali maupun tokoh-tokoh masyarakat terhadap prilaku berkarakter mulia yang dikembangkan di sekolah menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing.


Pada konteks mikro pengembangan karakter dapat digunakan pendekatan Holistik, yaitu pendekatan yang mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Sekolah sebagai leading sector, berupaya memanfaatkan dan memberdayakan semua lingkungan belajar yang ada untuk menginisiasi, memperbaiki, menguatkan, dan menyempurnakan secara terus menerus proses pendidikan karakter di sekolah.

Berikut ini ciri-ciri pendekatan holistik:
  1. Segala sesuatu di sekolah diatur berdasarkan perkembangan hubungan atau kesepakatan antara siswa, guru, dan masyarakat
  2. Sekolah merupakan masyarakat siswa yang peduli di mana ada ikatan  jelas yang menghubungkan siswa, guru, dan sekolah
  3. Pembelajaran emosional dan sosial setara dengan pembelajaran akademik
  4. Kerjasama dan kolaborasi di antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan persaingan.
  5. Nilai-nilai seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas
  6. Siswa-siswa diberikan banyak kesempatan untuk mempraktikkan prilaku moralnya melalui kegiatan-kegiatan seperti pembelajaran memberikan pelayanan
  7. Disiplin dan pengelolaan kelas menjadi fokus dalam memecahkan masalah dibandingkan hadiah dan hukuman
  8. Model pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi di mana guru dan siswa berkumpul untuk membangun kesatuan, norma, dan memecahkan masalah

Selain pendekatan holistik, peran lembaga pendidikan atau sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan karakter mencakup (1) mengumpulkan guru, orangtua dan siswa bersama-sama mengidentifikasi dan mendefinisikan unsur-unsur karakter yang mereka ingin tekankan, (2) memberikan pelatihan bagi guru tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan dan budaya sekolah, (3) menjalin kerjasama dengan orangtua dan masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa prilaku karakter itu penting untuk keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya, dan (4) memberikan kesempatan kepada kepala sekolah, guru, orangtua dan masyarakat untuk menjadi model prilaku sosial dan moral.

Implementasi nyata yang bisa diterapkan dalam lingkungan sekolah, seperti:
a.       Implementasi melalui program pengembangan diri yang harus diterapkan dalam kegiatan sehari-hari di sekolah seperti kegiatan rutin sekolah misalnya upacara bendera, berdoa sebelum dan sesudah memulai pelajaran, kedisiplinan dalam berbagai hal; kegiatan spontan misalnya membuang sampah pada tempatnya; teladan misalnya sopan santun dalam berbicara, bersalaman dengan guru, ramah dan saling bertegur sapa; pengkondisian misalnya kelas yang terlihat rapi.
b.      Implementasi dalam mata pelajaran
Pengembangan nilai-nilai dan karakater diintegrasikan dalam setiap pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Nilai-nilai tersebut dicantumkan dalam Silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP). Kemudian, dilanjutkan dengan proses evaluasi yang menggunakan instrumen dan alat ukur yang relevan sesuai tujuan yang akan dicapai. Pengembangan nilai-nilai tersebut dapat dilakukan melalui:
      1. Mengkaji Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) untuk menentukan apakah kandungan nilai-nilai dan karakter yang secara tersirat atau tersurat dalam SK dan KD di atas sudah tercakup di dalamnya
      2. Menggunakan keterkaitan antara SK/KD dengan nilai dan indikator untuk menentukan nilai yang akan dikembangkan
      3. Mencantumkan nilai-nilai dan karakter bangsa ke dalam silabus
      4. Mencantumkan nilai-nilai  yang sudah tercantum dalam silabus ke RPP
      5. Mengembangkan proses pembelajaran siswa sehingga memunculkan model-model pembelajaran yang memungkinkan siswa memiliki kesempatan melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai karakter dan kepribadian bangsa.
      6.  Memberikan bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan untuk internalisasi nilai maupun untuk menunjukkannya dalam perilaku.

c. Implementasi lain dalam berbagai bidang di sekolah dapat dilakukan melalui kegiatan yang unik dan dapat dijadikan ciri khas suatu sekolah. Misalnya, kantin kejujuran, kotak pengakuan, catatan harian dalam keseharian di sekolah yang diwajibkan oleh pihak sekolah untuk semua siswa agar berpartisipasi aktif. Jadi, dalam kegiatan ini siswa diwajibkan mengisi buku harian siswa mengenai aktivitas apa saja yang dilakukan siswa dalam sekolah mulai siswa datang sampai akan meninggalkan sekolah. Hal ini dapat membangkitkan sikap kejujuran siswa dalam aktivitasnya sekaligus mengetahui kesehariannya. Evaluasi dalam kegiatan ini dapat dilakukan dengan pengamatan kegiatan yang tertulis dalam buku tersebut dan di evaluasi oleh setiap wali kelas. Jadi, wali kelas bertanggung jawab atas segala aktivitas yang dilakukan siswa kelasnya.
Pada dasarnya pendidik adalah sebagai masyarakat yang belajar dan bermoral. Terlibatnya pendidik dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter. Pendidik bertanggung jawab untuk menjadi model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah-hasanah” yang hidup bagi setiap siswa. Mereka juga harus terbuka dengan siswa. Selain itu, pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter. Setelah kegiatan refleksi guru atau pendidik juga perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada siswa secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.

Proses evaluasi pendidikan berkarakter didasarkan pada indikator dan tujuan pembelajaran yang diharapkan dan dievaluasi dengan instrumen yang cocok. Sebagai contoh, indikator untuk nilai jujur dirumuskan dengan “mengatakan dengan sesungguhnya perasaan dirinya mengenai apa yang dilihat/diamati/ dipelajari/dirasakan” maka guru mengamati dengan berbagai cara apakah yang dikatakan seorang siswa itu jujur mewakili perasaan dirinya. Mungkin saja siswa menyatakan perasaannya itu secara lisan tetapi dapat juga dilakukan secara tertulis atau bahkan dengan bahasa tubuh. Penilaian dilakukan secara terus menerus, setiap saat guru berada di kelas atau di sekolah. Model anecdotal record (catatan yang dibuat guru ketika melihat adanya perilaku yang berkenaan dengan nilai yang dikembangkan) selalu dapat digunakan guru. Selain itu guru dapat pula memberikan tugas yang berisikan suatu persoalan atau kejadian yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan nilai yang dimilikinya. Nilai yang diperoleh siswa di tuangkan melalui pernyataan kualitatif yang jelas, seperti belum terlihat, mulai terlihat, mulai berkembang dan membudaya.

Sementara dalam pendidikan informal seperti keluarga dan lingkungan, pendidik atau orangtua/tokoh masyarakat juga memiliki tanggung jawab dan kewajiban, diantaranya: 1) menunjukkan nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya, 2) harus memiliki kedekatan emosional kepada anak dengan menunjukkan rasa kasih sayang, 3) harus memberikan lingkungan atau suasana yang kondusif bagi pengembangan karakter anak, dan 4) perlu mengajak anak-anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, misalnya dengan beribadah secara rutin.

Berdasarkan upaya-upaya implementasi pendidikan berkarakter di sekolah dan tentunya di sertai peran jenis pendidikan lainnya yaitu nonformal maupun informal, diharapkan siswa akan tumbuh dan berkembang yang sejalan atau selaras dengan karakter moral bangsa. Sehingga, kemerosotan moral yang ada dapat dikurangi dan kepribadian bangsa dapat terjaga dan semakin membudaya.  



Komentar

  1. Tulisan saat ikut pemilihan Mawapres 2011. Masih belum terlalu rapi dan tajam dalam bahasanya. Tapi, ini awal dari semakin suka menulis saat itu. Semoga bermanfaat.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOAL LATIHAN MOMEN INERSIA

Tugas Dinamika Rotasi Part 2

SOAL APLIKASI TORSI